Cerpen

Asap Karya Solehun

RUPANYA sudah dua bulan ini kotaku dihebohkan oleh kasus asap. Begitu hebohnya kasus asap ini, sampai-sampai berita kasus korupsi dan penggusuran yang sejatinya tidak kalah cetar membahana itu seperti lenyap ditelan bumi. Soal kehebohan ini pertama kali aku dengar dari siaran radio pagi ini.

Pagi-pagi itu, saat masih berbalut kain sarung dan ditemani kopi panas, kutangkap gelombang radio. Selama satu jam kutertarik mendengar rubrik siarannya, “masalah dan solusi”.

Dengan gaya lugas dan tajam, sang penyiar saat itu mengurai masalah asap. Disebutnya, meski kasus asap adalah kasus rutin tahunan di musim kemarau, tetapi kasus asap tahun ini terkategori sebagai yang terparah.

Kebakaran hutan dan lahan dikabarkan terjadi di mana-mana. Dampaknya sangat meresahkan. Kualitas udara terasa pekat dan tidak sehat. Akibatnya, penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di kotaku pun meningkat hingga empat ratus persen. Jumlahnya menjadi 4.839 kasus dari sebelumnya yang hanya 2.852 kasus.

Dampak kabut asap juga telah merambah dunia pendidikan. Karena khawatir akan berdampak buruk pada siswa, dinas pendidikan pun mengambil kebijakan pengurangan jam sekolah. Dari semula siswa wajib masuk pukul 07.00, karena tebalnya asap di pagi hari, diubah menjadi masuk pukul 07.30.

Pemerintah daerah dan pihak terkait sadar bahwa masalah asap mesti segera diatasi. Ribuan masker ditebar. Salat minta hujan (istisqo) digalakkan. Warga dilarang membakar hutan-lahan. Ancaman pidana bagi mereka yang masih melakukan. Manggala agni pun diterjunkan. Belakangan bahkan dikerahkan pesawat water bom dan diterapkan teknologi hujan buatan.

Aku yakin asap rokok tidak akan menambah pekat udara pagi hari ini. Keyakinan ini menggodaku untuk berulang kali menghisap dalam-dalam rokok kretekku. Sejurus aku pun berulang kali menemankan tegukkan kopi pagi pada liukan asap yang baru terbebas dari cerobong hidungku.

Asap rokok masih bergelayut di bawah langit-langit rumah saat kuambil topi caping berurat bambu yang tercantol di dinding ruang tamu. Posisinya segera kutukar dengan kain sarungku. Saat itu aku bermaksud hendak meninggalkan rumah untuk memeriksa sebidang kebun karetku yang tak jauh dari pekarangan. Maklum di musim kemarau seperti sekarang, sebagaimana disetir penyiar radio tadi, semua mudah terbakar. Aku tidak ingin hal itu sampai terjadi pada kebunku. Apalagi kebun itu satu-satunya tumpuan ekonomi keluargaku.

Bergegas kulangkahkan kaki. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti. Aku terkejut. Saat itu asap rokok yang membumbung di langit rumah seakan telah berubah menjadi sarang laba-laba. Lalu terasa ada kekuatan luar biasa saat itu yang membelit habis batang tubuhku.

Anehnya, aku tidak memiliki kekuatan sedikit pun untuk melepaskan diri. Sampai akhirnya aku menyerah, terduduk lemas di kursi rotan yang berada tepat di hadapan televisi.

Entah siapa yang telah memencet tombol power-nya, televisi itu tiba-tiba telah hidup. Lagi-lagi liputan seputar asap kembali muncul dan kali ini menghiasi layar kaca. Dalam lunglai kucoba pelototi tayangan demi tayangan. Mataku mungkin segera akan terkatup jika saja tayangan soal asap tidak semakin heboh.

Di awal tayangan, ditampilkan pesawat pejabat penting di negeri ini yang harus berputar-putar selama belasan menit sebelum mendarat di sebuah bandara. Itu bukan karena ada sabotase, tetapi semata karena begitu pekatnya kabut asap di sekitar bandara.

Begitu pesawat itu berhasil mendarat, apa yang akan terjadi sudah bisa ditebak. Sang pejabat pun segera melampiaskan kemarahannya. Rapat mendadak langsung digelar. Pihak-pihak terkait dihadirkan. Semua kena semprot. Semua diperintahkan untuk bergerak cepat mengatasi asap. Ada target waktu. Manakala gagal, jabatan mereka akan jadi taruhannya.

Rapat mendadak telah bubar. Saatnya kemudian secara bergiliran, para pihak terkait mengambil jatah sorot kamera. Kesempatan pertama diambil pejabat kehutanan. Disebutkan, berdasarkan hasil deteksi satelit teraktual, jumlah titik api telah mencapai ribuan. Katanya, titik api itu secara umum akibat perilaku pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan petani.

Mendengar kesimpulan ini, aku tiba-tiba terseguk. Nalarku memberontak. Sebab di kampungku dan desa tetangga, kebakaran selama ini justru terjadi di area perkebunan besar. Itu milik pengusaha. Entah kebetulan, entah sengaja, yang jelas aku pernah mendengar dari seorang pegawai di perkebunan yang terbakar jika kebakaran itu membawa keuntungan secara ekonomi.

Sayangnya, aku tidak pernah menggali makna soal kaitan antara kebakaran dan keuntungan ekonomi ini. Sebagai petani, aku justru lebih tertarik memahami seluk-beluk pembakaran lahan yang dilakukan petani. Mulai dari soal pelokalisiran area, pemantauan gerak angin, hingga tujuan pembakaran yang dimaksudkan demi memutus rantai gulma semata.

Tidak heran jika pembakaran yang dilakukan petani sejak nenek moyang dulu tidak pernah membawa masalah asap seperti sekarang ini. Bencana asap malah ramai belakangan, seiring semakin luasnya areal perkebunan besar di negeri ini.

Segukanku berhenti ketika datang giliran petinggi aparat keamanan yang dengan sikap tegap dan tegas mengatakan tidak akan pandang bulu terhadap pembakar hutan. Dia bahkan memerintahkan anggotanya untuk menembak mati pelaku pembakaran. Ditambahkan, kalau saat ini mereka sudah mengendus 24 pelaku pembakaran hutan yang siap untuk segera ditindaklanjuti.

Aku pun gemetar menyaksikan tayangan ini. Bukan karena takut. Tetapi kesal saja melihat aparat yang seakan melupakan hak asasi manusia dalam penegakan hukum. Aku juga kecewa karena jumlah mereka yang terendus melakukan pembakaran sangat sedikit. Sangat tidak sebanding dengan jumlah titik api dan hebohnya kasus asap.

Kini, gambar televisi telah terfokus pada sosok yang memimpin lembaga penanggulangan bencana. Dia banyak bicara program yang telah dan akan segera dijalankan untuk memadamkan titik api. Semua program itu didukung dana cukup besar. Jumlahnya mencapai ratusan miliar.

Mendengar kata ratusan miliar, sontak kepalaku geleng-geleng. Jujur, aku belum pernah melihat uang sebanyak itu. Boro-boro memilikinya. Di luar itu, bagiku, penganggaran uang sebesar itu rasanya kurang efisien. Kurang efektif. Andai saja digunakan untuk program pencegahan dengan melibatkan masyarakat, aku yakin itu jauh lebih efektif dan efisien. Sebab sejauh ini aku masih percaya akan pepatah kuno, mencegah itu lebih baik daripada mengobati.

Tayangan heboh asap itu menghilang dari televisi setelah semua pihak terkait tampil. Lilitan yang membelenggu tubuhku pun serta-merta hilang. Aku kini kembali bertenaga. Aku segera beranjak dari kursi rotan dan mematikan televisi.

Tak lupa dengan niat awalku, aku pun bergegas turun dari rumah panggungku menuju kebun.

Sesampai di kebun, kukitari pohon-pohon karetku. Semua terlihat lebih ramping dan pucat. Itu akibat kurang air dan banyak daunnya yang berguguran.

Aku tersenyum. Bersyukur. Kebunku aman-aman saja. Tidak ada asap yang menandai titik api di sini. Segera kuambil sapu lidi di pojokan kebun untuk mengumpulkan serakan daun keringnya. Ternyata butuh waktu empat jam bagiku untuk menyelesaikan pekerjaan ini.

Begitu tumpukan daun-daun kering itu telah kulindungi dengan lembaran terpal, aku pun segera beristirahat di pondokan bambu yang posisinya tepat di tengah-tengah kebunku. Rasa peluh ternyata membawaku cepat tertidur pulas.

Seperti sedang berada di bunker perang, telingaku saat itu benar-benar kedap oleh bunyi-bunyian. Termasuk oleh gonggongan berulang-ulang anjing penjaga kebunku yang ketika itu suaranya sampai menembus langit.

Aku baru terbangun ketika napasku terasa begitu sesak dan badanku tersengat hawa amat panas. Dalam suasana setengah sadar, aku benar-benar terkejut. Betapa tidak, api telah menjilati seluruh dinding pondok bambu.

Dari sela pintu pondok yang tak berbentuk lagi itu, kulihat kobaran api sangat besar. Api itu melumat habis gurihnya tulang pohon karetku. Lalu aku pun larut dalam jeritan minta tolong, sembari tidak habis berpikir kenapa kebakaran ini bisa terjadi.

Jeritanku tidak berjawab. Sementara api itu kini telah merambah ke baju dan celanaku. Dalam ketakutan yang tak terperi, kugunakan kesempatan yang masih tersisa untuk terus menjerit minta tolong. Namun tak satu pun sosok yang datang untuk menolongku, kecuali kelebat sosok putih yang begitu cekatan membawaku ke dunia lain.

Esok harinya istriku menangis tepat di puing pondok bambu yang telah berjejak arang. Seakan mengadu kepadaku, dia sampaikan tentang tayangan pejabat keamanan yang bicara perkembangan penanganan kasus asap di televisi bertepatan dengan jam sarapan pagi tadi.

“Dari ribuan titik api ditemukan 12 kasus dengan tersangka 24 orang. Kita berhasil menciduk 23 dari 24 orang yang diduga melakukan pembakaran lahan. Satu di antaranya dilaporkan meninggal dunia akibat banyak menghirup asap saat tertidur di pondok kebunnya. Para tersangka ini akan segera menjalani persidangan. Mereka diancam kurungan penjara maksimal 12 tahun jika terbukti sengaja melakukan pembakaran, atau 5 tahun kurungan jika karena kelalaian membakar lahan,” ujar istriku mengutip pernyataan pejabat itu.

Sambil terus menangis, istriku kembali menyampaikan hasil kutipannya, “Dari pemeriksaan intensif, 24 pembakar lahan tersebut diketahui sebagai pemilik lahan. Mereka berprofesi sebagai petani. Belum ada bukti keterlibatan perusahaan dalam pembakaran hutan dan lahan tersebut”.

Dengan menepak-nepak debu dari pondok bambu yang hangus, isteriku tak henti menjerit histeris sebagai bentuk protes atas isi tayangan itu. “Itu bohong. Itu rekayasa. Suamiku bukan pembakar lahan!”

Jeritan histerisnya itu menggema berulang-ulang. Tapi tak ada satu pun pihak yang datang untuk menenangkannya. Hingga dia pun sepertinya kehabisan suara. Berikutnya, yang terlihat dari wajah kusamnya hanyalah senyum hampa yang hampir tertutup oleh rumbai rambut acaknya.

Tidak ada yang tahu, entah sampai kapan pemandangan memilukan itu mendekorasi wajahnya. *

 

*) Cerpen ini dinukil dari buku Antologi Cerpen Tumbal karya Solehun, yang diterbitkan oleh Pustaka Media Pratama, Bandung, 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button