Cerpen

Cerpen Cermin Retak

Karya Solehun

HAMPIR satu bulan Si Cermin gundah. Hampir satu bulan pula cermin-cermin yang dijualnya di Pasar Baru tak satu pun laku. Ini beda dengan waktu sebelumnya yang rata-rata bisa terjual seratus keping cermin per hari. Dengan penjualan itu, modalnya bisa berputar sehat. Keuntungannya cukup untuk makan sehari-hari. Sisanya bisa untuk biayai sekolah tiga anaknya. Tapi sekarang, jangankan untung, bagaimana modal bisa kembali saja susah.

Dalam lamunannya, Si Cermin tak henti memberondongkan resah. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di Negeri Mawas ini. Benarkah krisis ekonomi sedang membelit negeri ini, sehingga warga tak mampu lagi beli cermin. Atau semua warga masih memiliki cermin dalam kondisi baik hingga tak perlu lagi beli cermin.

Tapi itu tidak mungkin! Sebab di koran atau tv, tak ada pejabat atau pengamat yang bicara negeri ini sedang krisis. Soal kepemilikan cermin oleh warga itu juga tidak mungkin stabil. Pasti ada saja cerminnya yang sudah rusak karena terjatuh, terbakar atau terlempar. Lagian cacah jiwa dan keluarga pasti selalu bertambah. Pasti di antara mereka ada saja yang butuh cermin baru.

”Cermin, cermin, cermin. Silakan beli, mumpung dijual murah. Discount lima puluh persen!” Berkali-kali Si Cermin menawarkan barang dengan bandrol super murah di luar kebiasaan itu kepada warga yang lalu lalang hari ini. Anehnya, tak seorang pun yang terpancing membeli. Yang ada hanya balasan senyum kering dari bibir-bibir yang sempat berkelibat di ruas cerminnya.

”Hari gini masih jual cermin, Pak. Tidak takut apa?” Tiba-tiba terdengar tanya laki-laki paruh baya berpakaian necis ala dinas menyela penawarannya.

Si Cermin tak mempedulikan maksud tanya orang di depannya. Mungkin karena besarnya harapan agar barang dagangannya segera laku, dia justru manfaatkan kesempatan ini untuk memasarkan barang. Setelah dengan cekatan membaca papan nama yang menempel di atas saku kiri baju orang itu, dia pun berujar ramah, ”Oh, Pak Bram. Bapak mau beli cermin ukuran besar atau kecil, silakan dipilih. Semua dijual separo harga.”

Orang yang ditawari cermin itu tidak berujar. Dia hanya mengangkat kedua telapak tangannya setinggi bahu sembari menggelengkan kepala. Si Cermin pun kembali muram karena target pembelinya lagi-lagi tidak tertarik untuk merogoh koceknya.

Dia lantas mengambil sapu tangan abu-abu di kantong dan mengusapkannya di muka yang sudah dipenuhi bentolan keringat. Tidak lama berselang, dia pun menyiramkan air mineral ke tenggorokannya yang mulai terasa kering dan serak akibat tiada henti menawarkan barang.

”Kalau Bapak cerdas, mestinya tidak lagi berjualan cermin,” tiba-tiba lelaki yang disapa Pak Bram itu mencoba mengisi waktu kemuraman Si Cermin dengan mengajaknya berdiskusi. Sebenarnya ajakan diskusi itu malas disahuti jika saja penjual cermin yang sudah melakoni profesinya sejak dua puluh tahun ini tidak merasa tersinggung dengan kalimat pembuka itu.

”Apa, Bapak sebuat saya tidak cerdas karena masih berjualan cermin?” Suara Si Cermin terdengar agak meninggi. Emosi seseorang memang mudah tersulut manakala orang tersebut sedang dalam posisi gundah, tertekan, ataupun buntu.

”Sabar. Saya tidak bermaksud menghina. Saya justru ngomong ini karena kasihan melihat Bapak yang tak henti berjualan, tetapi tidak satu pun barang laku,” kata Pak Bram berusaha memangkas urat emosi lawan bicaranya. Seakan tidak ingin obrolannya didengar khalayak, dia pun mengajak Si Cermin untuk bicara sambil duduk di balik etalase tempat berjajar cermin.

”Saya sarankan Bapak lebih baik berhenti jualan cermin dan beralih menjadi penjual barang lain saja yang memang dibutuhkan warga. Dari informasi yang saya dapat, saat ini cermin telah menjadi barang haram di negeri ini, yah… mirip-mirip narkoba gitu. Pihak berwenang telah membuat kebijakan dan telah menerapkannya sebulan yang lalu. Intinya, warga dilarang untuk beli dan pakai cermin.” Omongan Pak Bram kembali terdengar menyengat seperti listrik tegangan tinggi.

Sontak Si Cermin pun meresponnya dengan kalap. ”Bapak jangan asal ngomong ya. Jaman ini benar-benar sudah jungkir-balik kalau cermin sampai dimakna barang haram. Sampai ada pelarangan segala!”

“Terserah bagaimana Bapak menanggapinya. Yang jelas, kini tidak boleh lagi ada orang yang jual dan beli cermin. Sebab kata pihak berwenang, cermin itu membahayakan negeri. Dan biasanya, larangan itu ada sanksinya bagi pelanggar. Karena saya kasihan dan ini belum terlambat, makanya saran saya seperti ini.” Nada Pak Bram masih terdengar landai, tidak terpengaruh emosi Si Cermin yang saat itu memakai kaos oblong yang di bagian depannya bergambar retakan kaca berlapis mengitari bidang yang bolong.

”Andai benar, kenapa orang seperti saya yang menggantungkan hidup di cermin tidak diajak bicara. Tidak ada kabar-kabari. Yang tidak masuk akal, mengapa cermin dijadikan barang haram, terlarang. Mengapa cermin divonis sebagai barang yang membahayakan?” Sederet tanya Si Cermin meluncur deras dari rongga mulutnya yang terbalut tirai protes. Kedua tangannya memegang erat cermin berbingkai yang diarahkan ke raut wajahnya. Dia seakan tidak ingin berpisah dengan cermin.

Kecintaannya terhadap cermin bukan semata karena kebetulan namanya yang mirip barang jualannya itu. Dia ingat cerita orang tuanya, nama itu sengaja dilekatkan sebagai bentuk doa dan harapan agar dia selalu bercermin dan memperbaiki diri. Lebih dari itu, baginya cermin itu juga adalah benda yang berisi jaminan hidup dan panduan hidup.

Soal jaminan hidup, memang sudah dua puluh tahun hidupnya terjamin lantaran berjualan cermin. Lantas mengenai panduan hidup, cermin itu telah terbukti mampu menjadi instrumen yang jujur untuk melihat dan menilai baik-buruknya wajah, perilaku, ataupun kondisi seseorang, yang semua itu sangat berharga demi sebuah perbaikan.

Tingginya nilai budaya dalam kode cermin inilah yang kemudian menyadarkan kita kenapa nenek moyang dulu begitu menghargai cermin. Ini setidaknya terlihat dari banyaknya kata ”cermin” yang terdapat dalam peribahasa klasik yang masih menjadi pedoman hidup dewasa ini.

Semua paparan jelas ini disampaikan secara maraton oleh Si Cermin ke kepala Pak Bram. Dia pun kemudian mencontohkan beberapa peribahasa berobjek cermin. Jangan bercermin di air keruh : jangan mengambil contoh pada orang jelek/jahat. Daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah: dari pada hidup menanggung malu lebih baik mati saja. Buruk cermin muka dibelah: aib sendiri terbongkar membuatnya malu, tetapi dia buru-buru mengkambinghitamkan orang lain.

”Apa yang ditanyakan tadi sesungguhnya sudah terjawab melalui pembelaan Bapak barusan. Saya hanya menegaskan, karena cermin, apa yang terjadi di Negeri Mawas sekarang menjadi terang-benderang”, sahut Pak Bram. Si Cermin tak langsung menyahut. Dia tidak cukup bahan untuk menanggapinya.

”Lantaran cermin itu, warga menjadi tahu berbagai kejanggalan di Negeri Mawas yang semestinya mereka tidak perlu tahu. Misalnya tentang ratu ekstasi yang layak dihukum mati, malah diberi grasi. Klaim sebagai negara maritim, tetapi ikan dan garam mesti impor. Negeri agraris, tapi beras impor. Pembuat anggaran, eh malah menyunat anggaran. Bilang anti korupsi, malah korupsi. Tahu kitab suci, malah dikorupsi. Pelayan masyarakat, kok malah ramai-ramai punya rekening gendut.” Penjelasan Pak Bram ini terdengar begitu runtut dan mengangkat berbagai masalah yang saat ini memang benar terjadi di tengah masyarakat.

Celoteh itu membuat Si Cermin menjadi yakin kalau kabar yang dibawanya bukan isu. Apalagi kini otaknya juga telah menemukan benang merah. Seakan ada keterkaitan antara fakta mulai tidak adanya pembeli cermin dengan kebijakan pelarangan jual-beli cermin, yang terjadi sejak sebulan yang lalu.

Lho, mestinya cermin dipertahankan, bukan malah dibasmi. Cermin itu ibarat kaca benggala. Kejujuran dan kondisi nyata yang terpancar darinya adalah kompas berharga untuk membawa ke mana Negeri Mawas mesti berlabuh. Tanpa cermin, semua menjadi kabur. Negeri ini akan salah sasar jika kebijakan yang diambil tidak berdasar pada hasil cerminan”. Semangat pembelaan Si Cermin belum juga reda.

”Di sinilah letak bahayanya. Warga yang kritis itu ancaman bagi mereka penganut manipulasi. Kekuasaan mereka tidak ingin rontok gara-gara diserang protes warga yang resah dengan kondisi hidup yang tidak kunjung membaik. Dan untuk itu, apa pun sanggup mereka lakukan”. Pak Bram pun berinisiatif mengakhiri diskusi sembari kembali mengingatkan agar Si Cermin mengikuti sarannya.

”Mohon diingat, tidak ada ranting yang bisa bertahan di tengah terjangan arus,” tutupnya sambil berlalu menepuk bahu Si Cermin.

Di batok kepala Si Cermin masih berkecamuk pikiran dilematis antara niatan mengakhiri atau meneruskan profesinya sebagai penjual cermin.

Kedua tangannya  kembali mengambil dan memegang erat cermin berbingkai, lalu mengarahkannya ke wajah suramnya. Kali ini terlihat jelas air matanya meleleh membasahi permukaan cermin yang menampilkan wajahnya.

Tess, tess, tess! Dor! Dor! Dor! Suara tetesan air mata dan letusan itu terdengar beriringan.

Dia tidak lagi bisa menceritakan apa yang terjadi seketika itu. Di tengah gelapnya mata dan mulai menghilangnya denyut nadi, dia hanya bisa meletakkan tangan kanannya tepat di bidang bolong bergambar retakan kaca di kaos oblongnya.*

 

Karya Solehun

*) Cerpen ini dinukil dari buku Antologi Cerpen ’Tumbal’ karya Solehun, yang diterbitkan oleh Pustaka Media Pratama, Bandung, 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button