Meski mengakui kebenaran cerita Denis, tapi Pak Ramdani tetap geleng-geleng kepala. Dia seolah-olah masih tak percaya menemukan seorang siswa dengan karakter sangat aneh seperti Denis. Namun, karena dorongan tanggung jawabnya selaku penjaga sekolah sekaligus sebagai orang dewasa, dia tak putus asa untuk memberikan arahan kepada Denis.
PUKUL 16.00 WIB bel penanda pulang sekolah telah berbunyi. Para siswa yang telah belajar secara fullday segera beranjak pulang. Anehnya, Denis malah memilih untuk bertahan di sekolah. Dia sepertinya sengaja mengakhirkan kepulangannya sore itu. Tak ada satu pun temannya yang tahu, apa alasannya yang tak segera pulang itu.
Setelah dipastikan semua siswa sudah pulang, Denis terlihat menuju kantin sekolah yang saat itu sudah tutup. Ia lalu mengeluarkan rantang tuperware-nya. Semua isinya yang masih utuh, baik nasi, sayur atau lauk-pauk, dikeluarkan dan dibuang di kotak sampah yang terletak di area kantin itu.
Seakan-akan sedang berburu dengan waktu, ia kemudian melepas dan merobek semua poster yang menempel di dinding kantin. Poster yang dirobek itu tak lain adalah poster kantin kejujuran. Di dalamnya selain tertulis kata “Kantin Kejujuran”, juga tertulis kalimat ajakan. “Jujur itu baik. Mari berbuat jujur sejak dari siswa dan dimulai dari dunia pendidikan”. Begitu bunyi kalimat ajakan itu, yang dikelilingi gambar sketsa siswa yang nampak jujur saat berbelanja di kantin sekolah meski tidak diawasi oleh penjaga kantin.
Seperti lirik lagu tik-tok yang populer belakangan ini, entah apa yang merasuki Denis sore itu. Sampai-sampai ia begitu bernafsu melumat poster itu. Bahkan tidak puas dengan hanya mengoyak poster, ia juga berencana melepas dan membakar banner kantin kejujuran yang menempel di papan nama kantin sekolah itu. Tapi rencana itu gagal diwujudkan. Sebab, di saat ia sedang memanjat tiang papan nama dan hendak melepas banner itu, tiba-tiba ada penjaga sekolah memergokinya. Ia pun diminta turun dan mengurungkan niatnya.
Karena tidak ingin berurusan panjang dengan Pak Ramdani, penjaga sekolah yang terkenal garang itu, Denis segera berancang-ancang untuk mengambil langkah seribu. Tapi gelagatnya itu telah terbaca. Pak Ramdani telah lebih dulu berhasil menangkap tangannya. Dia benar-benar tidak bisa berkutik. Dia pun hanya bisa mengekor ketika sosok yang sudah berkepala lima itu memaksanya masuk ke ruangan penjaga sekolah untuk diinterogasi.
“Siapa namamu?”, ujar Pak Ramdani mulai menyelidik.
“Denis, Pak”, jawabnya.
“Kelas?”, tanyanya lagi.
“Kelas X/4,” ujar Denis.
“Nama wali murid dan nomor HP yang dapat dihubungi?”, tanya Pak Ramdani yang membuat Denis mulai tidak lancar menjawabnya. Dia sedikit ragu untuk menjawabnya. Sebab, dia tidak ingin perbuatannya sore ini diketahui orang tuanya. Dia tidak sanggup menerima kemarahan ayahnya begitu mendapat laporan tentang perbuatannya sore ini.
“Kok diam. Silahkan sebutkan,” kejar Pak Ramdani yang seolah-olah tidak ingin blanko catatan kejadiannya ada yang kosong.
“Nama ayah, Sulaeman. HP 08123214xxxx.” Akhirnya Denis menyebutkan yang diminta penjaga sekolah. Dalam hati dia berdoa, semoga penjaga sekolah ini meminta informasi ini sebatas untuk data. Tidak akan digunakan untuk menghubungi ayahnya.
“Sebelum saya lanjutkan, saya ingin tahu terlebih dahulu, sekarang Anda sehat-sehat saja dan tidak stres kan?”, ujar penjaga sekolah ingin memastikan kondisi fisik Denis.
“Sehat dan tidak stres, Pak”, sahutnya singkat.
“Jika tidak stres, lantas kenapa kau koyak poster kantin kejujuran itu bahkan papan namanya. Padahal, kantin kejujuran itu program sekolah dan punya tujuan baik,” tanyanya menyisir maksud perbuatan Denis.
Ditanya dengan hal yang sudah menjurus itu, Denis tak mau menjawab. Dia tidak ingin maksud perbuatannya diketahui orang lain.
“Saya tahu program itu baik, Pak. Tapi apa maksud dari perbuatan saya ini, maaf tidak akan saya utarakan,” ujar Denis.
Melihat gaya Denis yang mulai mengunci pembicaraan, Pak Ramdani mulai mencari siasat. Baginya, apa yang dilakukan Denis merupakan sesuatu yang ganjil. Rasa ingin tahunya yang demikian besar membuatnya menghadirkan tawaran untuk Denis.
“Jangan khawatir Denis. Jika kau mau menceritakan apa maksud di balik perbuatanmu tadi, ada tiga tawaran untukmu. Pertama, semua yang kau ceritakan tidak akan saya tulis dalam pemberkasan. Kedua, semua poster yang kau rusak akan saya ganti mengingat saya masih menyimpan sisa poster itu. Ketiga, saya janji tidak akan menceritakan hal ini kepada siapa pun, termasuk kepada orang tuamu. Tapi sebaliknya, jika kau masih tidak mau cerita, maka saya akan memberitahukan hal ini kepada orang tuamu,” ujar penjaga sekolah itu memberikan penawaran.
“Baik, saya setuju dengan penawaran Bapak,” ujar Denis setelah memikirkan penawaran itu beberapa saat.
“Jika demikian, ayo ceritakanlah,” desak penjaga sekolah itu tak sabar.
“Meski program kantin kejujuran itu baik, tapi saya kesal dengan program ini. Gara-gara program ini saya harus terbiasa dengan kebiasaan baru yang tidak saya sukai. Yakni harus membawa perbekalan makanan dan minuman dari rumah,” ujar Denis.
“Kalau memang tidak suka, kan bisa belanja di kantin sekolah,” sahut Pak Ramdani.
“Di situlah masalahnya. Saya tidak bisa lagi belanja di kantin sekolah sejak kantin ini telah berubah menjadi kantin kejujuran”, tandas Denis.
“Aneh, kenapa tidak bisa. Kantin kejujuran ini kan terbuka untuk umum. Siapa pun bisa berbelanja di sana”. Pak Rusbandi semakin heran dengan alasan yang disampaikan oleh Denis.
“Kantin kejujuran itu sejatinya telah menutup akses saya untuk belanja. Dengan prinsip kejujuran yang memagarinya, maka saya tidak bisa tipu-tipu lagi saat belanja di kantin itu. Saya tidak bisa lagi, misalnya, makan tujuh gorengan bayar tiga. Minum dua teh botol bayar satu. Atau mengaku sekedar duduk-duduk, padahal telah menyantap makanan dan minuman secara sembunyi-sembunyi”, jelas Denis menguraikan kontradiksi antara kantin kejujuran dengan kebiasaanya selama ini.
“Bukankah itu lebih bagus, sebab kantin kejujuran telah memupus kebiasaan burukmu?”, tanya Pak Rusbandi keheranan.
“Benar, Pak. Tapi anehnya, ketika saya belanja dengan jujur, menu kantin yang saya santap tak selezat seperti yang disantap ketika saya bohong. Bahkan perut saya selalu mual jika menerima makanan atau minuman yang dibeli secara jujur,” imbuh Denis.
“Pasti ceritamu ini dibuat-buat ya,” sela penjaga sekolah itu tak percaya.
“Untuk cerita ini jujur, Pak. Saya berani bersumpah. Kalau dibuat-buat, untuk apa saya harus mencopot dan mengoyak atribut kantin kejujuran itu. Untuk apa pula saya harus repot-repot menyiapkan atribut ‘kantin tipu-tipu’ ini untuk menggantinya”, sahutnya meyakinkan sembari menunjukkan lembaran poster dan banner bertuliskan ‘kantin tipu-tipu’ yang dikeluarkan dari tas ranselnya.
Meski mengakui kebenaran cerita Denis, tapi Pak Ramdani tetap geleng-geleng kepala. Dia seolah-olah masih tak percaya menemukan seorang siswa dengan karakter sangat aneh seperti Denis. Namun, karena dorongan tanggung jawabnya selaku penjaga sekolah sekaligus sebagai orang dewasa, dia tak putus asa untuk memberikan arahan kepada Denis.
“Denis, apa yang kau alami dan rasakan itu tak lain karena kau telah menuruti hawa nafsu. Akibatnya, semua yang sesuai dengan selera hawa nafsu terasa nikmat. Sebaliknya, yang tidak sesuai dengan hawa nafsu akan terasa tidak nikmat. Tapi ingatlah, kenikmatan itu sejatinya hanya sesaat dan tak ubahnya sebuah fatamorgana,” jelas Pak Ramdani.
Denis terlihat tak bernafsu menimpali penjelasan itu. Dia lebih asyik mensejajarkan dua poster yang berbeda di atas meja penjaga sekolah itu. Poster kantin kejujuran yang ada di bagian kanan disejajarkan dengan poster kantin tipu-tipu yang berada di sebelah kiri.
“Saat ini mungkin kita merasa nyaman dengan kebiasaan menuruti hawa nafsu itu. Tapi disadari atau tidak, hal ini lambat-laun akan menjerumuskan kita. Banyak orang di dunia ini yang akhirnya menderita gara-gara menuruti hawa nafsunya, sementara kelak di akhirat balasannya pun sudah pasti menanti. Tidak ada perbuatan sebesar biji zarah pun yang lepas dari perhitungan di hadapan Tuhan nanti. Apalagi sebagai orang beragama, kita pun yakin bahwa ada malaikat yang selalu mengawasi tingkah laku kita selama hidup di dunia ini,” sambung Pak Ramdani menampilkan pemahaman agamanya.
Denis nampaknya masih larut mengamati dua poster itu. Kali ini, secara mendadak matanya terbelalak. Dia tidak menyangka ada pemandangan yang kontras pada kedua poster itu. Di poster sebelah kanan, muncul pemandangan yang menyejukkan. Dia terlihat sedang duduk santai di sebuah taman yang asri bertatakan permadani, dengan menu makanan dan minuman yang sangat melezatkan. Sedangkan di poster sebelah kiri, dia melihat kobaran api yang sangat panas menjilat tubuhnya, tanpa seorang pun yang menolongnya.
“Ada apa, Denis?”, tanya Pak Ramdani yang penasaran melihat gerak-gerik Denis berubah seketika.
“Apa yang Bapak sampaikan tadi benar. Saya menyesal dengan kebiasaan tipu-tipu selama ini. Mulai hari ini, saya berjanji akan mendukung kantin kejujuran di sekolah ini. Selanjutnya, untuk menebus kesalahan saya, izinkan saya menempelkan kembali poster kantin kejujuran ini”, pungkas Denis disambut ajakan salam tos-tosan oleh penjaga sekolah itu. **