Kata Generasi Millenial dan Gen Z saat ini bukan hal yang asing kita dengar seiring tumbuhnya demokrasi di ruang publik masa kini. Bonus demografi yang mana penduduk usia produktif Indonesia lebih banyak dibanding penduduk berusia non-produktif.
Maka dari itu sudah seharusnya kita bersiap-siap akan datangnya keadaan tersebut untuk berbagai perubahan yang akan terjadi mendatang, dalam hal ini kita akan bicara pada bidang kajian politik kontemporer mengingat pesta demokrasi menyisakan satu tahun lagi.
Bonus demografi adalah banyaknya penduduk usia produktif dibanding penduduk berusia non-produktif. Penduduk usia produktif adalah penduduk yang berusia 15-64 tahun.
Nah, melihat usia dari penduduk yang produktif, dapat kita lihat bahwa di usia-usia ini adalah usia dimana masyarakat sudah diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Lalu apa hubungannya dengan kegiatan politik kedepan? Melihat Indonesia yang mengalami bonus demografi, dapat disimpulkan bahwa para pemeran-pemeran politik di Indonesia akan menggencarkan kampanye-kampanyenya pada generasi tersebut.
Maka dari itu sudah seharusnya generasi itu dididik sebaik mungkin agar bisa menjadi penggerak bangsa ini dan mampu dengan bijak menentukan masa depan negara ini dengan hak pilihnya. Mereka harus mampu membedakan antara hoax dengan fakta agar mereka dapat memilih dengan bijak sesuai dengan hati nuraninya hal ini harus bisa dikendalikan mengingat derasnya Informasi yang membanjiri kanal media sosial dan media online yang langsung kontak dengan subjek.
Survei CSIS pada Agustus 2022 yang berfokus pada pemilih muda memperlihatkan ada 14,6 persen responden dari rentang usia 17-39 tahun yang memiliki ketertarikan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR atau DPRD, apabila ada kesempatan. Dengan angka yang tidak jauh berbeda 14,1 persen mengaku tertarik untuk menjadi kepala daerah.
Artinya, ketertarikan anak muda dalam politik tampaknya bukan menjadi persoalan demokrasi Indonesia saat ini. Ditambah dengan melihat pada tingkat partisipasi pemilih dalam beberapa pemilu terakhir, beserta keaktifan mengutarakan pendapat lewat gawai, pandangan umum yang selalu menempatkan apatisme politik sebagai tantangan generasi muda jauh dari kata valid.
Hal yang lebih penting untuk dijawab ialah apakah benar generasi baru ini mampu memberikan disrupsi politik?
Kemudian harapan bahwa generasi baru ini dapat membawa warna politik segar bukan tanpa basis teoritis. Para pemikir teori demokrasi telah lama menempatkan tumbuhnya kelas menengah yang lebih terdidik sebagai faktor utama yang akan mendorong demokratisasi.
Harapannya, kelas menengah terdidik akan menjadi motor yang merobohkan praktik-praktik klientelistik yang menjadi penyakit dari negara-negara berkembang. Dengan sendirinya mereka akan mendisrupsi kekuasaan dan memberikan kebaharuan gagasan. Dengan kata lain, karena kebergantungan kepada faktor demografis itulah, perubahan politik terkadang membutuhkan sebuah momentum generasi.
Penulis
Rusdianto, S.IP.
Tokoh Pemuda OKUS